Ads

Bobotoh Bubble Matches ke Jakarta (Bobotoh on Tour GBK Stadium)

Ada kalanya menyaksikan sepakbola tak ubahnya diperlakukan seperti tahanan. Suporter yang ingin menyaksikan pertandingan, diangkut dengan bis polisi, lalu diantar ke stadion. Di stadion pun puluhan aparat keamanan mengawasi para suporter yang datang. Risih? Namanya juga kecanduan sepakbola.

Ini yang dialami sejumlah suporter di Inggris. Mereka menamai kejadian ini sebagai bubble matches. Istilah ini diambil bagi sebuah pertandingan dengan kategori C, atau sangat berbahaya. Pihak kepolisian di Inggris membagi tingkat keamanan satu pertandingan dalam tiga kategori. A, B, dan C. Jelas, kategori A dianggap pertandingan yang sangat aman. Sedangkan kategori C dianggap berpotensi menghadirkan kerusuhan.

Jika suporter away ingin menyaksikan bubble matches, mereka harus mengikuti saran kepolisian, dan harus mau di awasi. Salah satunya dengan menaiki bus seperti seorang tahanan. Aturan ini membuat suporter lawan dilarang untuk berangkat sendiri-sendiri tanpa koordinasi dengan polisi.

Mereka harus berkumpul di tempat yang sudah ditentukan, untuk nantinya menaiki bis yang sudah disiapkan. Sebelum naik bis, pihak kepolisian pun memastikan para suporter ini tidak terlalu mabuk ataupun emosi. Setelah pertandingan, hal yang sama akan dilakukan. Mereka diantar pihak kepolisian ke tempat awal bertemu.

Di sejumlah partai bertajuk bubble matches, fans lawan tidak di perbolehkan mendapatkan tiket secara langsung. Mereka akan diberikan kwitansi untuk nantinya di tukarkan di tempat yang telah ditentukan. Mengapa? Ini sebagai pengecekan ganda untuk memastikan mereka yang memegang tiket adalah suporter yang setuju untuk dikawal dan dijaga polisi.

Terdapat lebih dari 50 bubble matches di seluruh Inggris selama sepuluh tahun terakhir. Pada Maret tahun lalu, polisi memutuskan laga antara Leeds United menghadapi Millwall statusnya ada di kategori C. Ini berarti semua fans Millwall mesti ber-bubble matchesuntuk dapat bertandang ke Ellan Road yang berjarak 326 kilometer.

Semua fans Millwall mesti berkumpul di Bermondsey, London, pukul 5.30 pagi. Aturan ini juga berlaku bagi suporter Millwall di Manchester, yang secara jarak lebih dekat ke Leeds, ketimbang harus berputar ke London. Hasilnya? Hanya 200 orang suporter yang berangkat. Sisanya memboikot pertandingan tersebut.

Banyak yang menganggap penonton sepakbola di Inggris kerap berbuat kriminal. Jadi, logika mengurung fans lawan dalam pertandingan kategori C adalah hal yang mutlak.

Namun, coba perhatikan fakta berikut. Pada musim 2012/2013 total penonton yang datang ke stadion ada 39 juta orang. Sementara itu, fans yang ditangkap 2.456 di seluruh pertandingan di Inggris dan Wales. Artinya, kurang dari 0,01 persen fans yang melakukan tindakan melanggar hukum!

Bagaimana `Bubble Matches` di indonesia ?

Ya, di indonesia adalah suporter dari Bobotoh yang di perlakukan seperti `Bubble Match`. Dimana Bobotoh harus datang ke GBK dengan pengawalan ketat oleh pihak kepolisian. Pihak kepolisian menyarankan untuk mengawal ketat Bobotoh dari Bandung ke Jakarta. Walaupun pertandingan tersebut bukan antara Persib vs Persija tetapi final tersebut di gelar di kota Jakarta, yang notabennya suporter musuh Bobotoh.

Ya, inilah memang budaya away suporter di indonesia. Selain hambatan dari suporter lawan yang kita lewati, mereka harus berkordinasi terlebih dahulu dari suporter tuan rumah, jarak yang jauh dan melewati pulau pulau belum pula terhambat dengan biyaya trasportasi yang kurang memadai.

`Bubble Matches` Saat itu Bobotoh sudah di tentukan titik kumpul untuk menuju Jakarta, pemesanan tiket sudah di buka lebar dari beberapa fanshop Bobotoh, sekitar 50.00 ribu tiket terjual bahkan kurang, sebelum keberangkatan di lakukan sejumlah Bobotoh di periksa terlebih dahulu karena dilarang membawa senjata tajam ataupun miras saat di perjalanan, Bobotoh pun tidak di sarankan untuk berangkat sendiri sendiri ke Jakarta, mereka yang setuju pun banyak untuk ikut dari pengawalan pihak kepolisian.

Sesampainya di stadion Bobotoh tidak untuk berlama lama berada di luar stadion dan harus memasuki stadion dg waktu yang sudah di tentukan. Seusai pertandingan pun Bobotoh harus menunggu keluar dari suporter lawan, dan kembali Bobotoh di periksa terlebih dahulu untuk menuju pulang, pengawalan ketat pun di lakukan menuju pulang.

O’Neill (jurnalis asal inggris) menganggap fans pada masa kini sudah diperlakukan dengan praduga sebagai kriminal. Penggemar sepakbola menjadi tikus percobaan bagi pemerintahan yang otoriter.

O’Neill dengan jenaka menyebut hal ini sebagai “Crime against civilliberties, (but) no one wants to talk about”.

Di Indonesia saat ini, polisi malah jauh lebih tegas. Jika berlangsung partai panas antara Persib melawan Persija misalnya, suporter lawan dilarang hadir. Bukan hanya oleh pihak kepolisian, tapi juga oleh PSSI dan pejabat daerah.

Apa yang dilakukan kepolisian Inggris patut mendapat apresiasi. Mereka begitu “perhatian” pada suporter lawan, sampai diantar jemput untuk pulang dan pergi. Bandingkan dengan kasus pelemparan bus Persib di Jakarta setahun lalu. Ke mana pihak keamanan yang seharusnya mengawal pertandingan?

Selalu ada pelajaran yang bisa diambil dari satu kejadian, dan bubble matches di Inggris bisa menjadi contoh bagus bagi kepolisian di Indonesia dalam mengawal klub ataupun suporter ke kandang lawan.

Sumber: Olahan dari PanditFootball.com (Senasi Pertandingan Seperti Kriminal)





Share on Google Plus

About Sebatas Tribun

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar: